Hadramaut

Senin

Al-Imam Ahmad bin Isa
Beliau adalah Al-Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau adalah seorang yang tinggi di dalam keutamaan, kebaikan, kemuliaan, akhlak dan budi pekertinya. Beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah.
Beliau berasal dari negara Irak, tepatnya di kota Basrah. Ketika beliau mencapai kesempurnaan di dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah cahaya kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan akherat, mana hal-hal yang bersifat baik dan buruk.

Beliau di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika beliau mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, "Bersegeralah kalian lari kepada Allah..." Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bid'ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa.
Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Ustman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij.
Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak-anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba'alawy), Bashri (kakek keluarga Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah orang-orang sunni, ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan sholeh. Termasuk juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau, serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah termasuk keturunan dari paman-paman beliau).
Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu beliau melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, beliau lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana.
Semenjak beliau menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman.
Masuknya beliau ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, Al-Imam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, "Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Ba'alawy, maka tidak ada kebaikan padanya." Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman salah seorang Saadah Ba'alawy, sambil berkata, "Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta." Radhiyallohu anhu wa ardhah...
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]


Muhammad Bin Ali (al-Faqih al-Muqaddam)
Yang pertama kali dijuluki 'al-Faqih al-Muqaddam' adalah waliyullah Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbad. Soal gelar yang disandangnya, karena waliyullah Muhammad bin Ali seorang guru besar yang menguasai banyak sekali ilmu-ilmu agama diantaranya ilmu fiqih. Salah seorang guru beliau Ali Bamarwan mengatakan, bahwa beliau menguasai ilmu fiqih sebagaimana yang dikuasai seorang ulama besar yaitu al-Allamah Muhammad bin Hasan bin Furak al-Syafi'i', wafat tahun 406 Hijriah. Sedangkan gelar al-Muqaddam di depan gelar al-Faqih yang berasal dari kata Qadam yang berarti lebih diutamakan, dalam hal ini waliyullah Muhammad bin Ali sewaktu hidupnya selalu diutamakan sampai setelah beliau wafat maqamnya yang berada di Zanbal Tarim sering diziarahi kaum muslimin sebelum menziarahi maqam waliyullah lainnya.Waliyullah Muhammad bin Ali dilahirkan di kota Tarim, beliau anak laki satu-satunya dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad yang menurunkan 75 leluhur kaum Alawiyin, sedangkan Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad menurunkan 16 leluhur Alawiyin. Sayyid Muhammad bin Ali yang terkenal dengan nama al-Faqih al-Muqaddam ialah sesepuh semua kaum Alawiyin. Beliau dilahirkan pada tahun 574 H di Tarim. Beliau seorang yang hafal al-quran dan selalu sibuk menuntut berbagai macam cabang ilmu pengetahuan agama hingga mencapai tingkat sebagai mujtahid mutlak. Mengenai Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, Sayyid Idrus bin Umar al-Habsyi dalam kitabnya Iqdul Yawaqiet al-Jauhariyah mengatakan: " Dari keistimewaan yang ada pada Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam adalah tidak suka menonjolkan diri, lahir dan batinnya dalam kejernihan yang ma'qul (semua karya pemikiran) dan penghimpun kebenaran yang manqul (nash-nash Alquran dan Sunnah). Penulis buku al-Masyra' al-Rawy berkata: "Beliau adalah seorang mustanbith al-furu' min al-ushul (ahli merumuskan cabang-cabang hukum syara' yang digali dari pokok-pokok ilmu fiqih. Ia adalah Syaikh Syuyukh al-syari'ah (mahaguru ilmu syari'ah) dan seorang Imam ahli hakikat, Murakiz Dairah al-Wilayah al-Rabbaniyah, Qudwah al-'Ulama al-Muhaqqiqin (panutan para ulama ahli ilmu hakikat),Taj al-A'imah al-'Arifin (mahkota para Imam ahli ma'rifat) dan dalam segala kesempurnaannya beliau berteladan kepada Amir al-Mukminin (Imam Ali bin Abi Thalib). Thariqahnya adalah kefakiran yang hakiki dan kema'rifatan yang fitrah." Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, wafat di kota Tarim tahun 653 hijriah.
Manaqib Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawy
[Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib
Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah -
Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi
- Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain
- Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath
bin Ali Khali' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah
bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya
sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Faqih Al-Muqaddam
(seorang faqih yang diunggulkan).
Beliau adalah al-'arif billah, seorang ulama besar, pemuka para imam
dan guru, suri tauladan bagi al-'arifin, penunjuk jalan bagi
as-salikin, seorang qutub yang agung, imam bagi Thariqah Alawiyyah,
seorang yang mendapatkan kewalian rabbani dan karomah yang luar
biasa, seorang yang mempunyai jiwa yang bersih dan perjalanan
hidupnya terukir dengan indah.
Beliau adalah seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT,
sehingga beliau mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Ditambah
lagi Allah memberikannya kemampuan untuk menguasai berbagai macam
ilmu, baik yang dhohir ataupun yang bathin.
Beliau dilahirkan pada tahun 574 H. Beliau mengambil ilmu dari para
ulama besar di jamannya. Di antaranya adalah Al-Imam Al-Allamah
Al-Faqih Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami
At-Tarimi. Al-Imam Abul Hasan ini adalah seorang guru yang agung,
pemuka para ulama besar di kota Tarim. Selain itu beliau (Al-Faqih
Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin
Fadhl dan Al-Imam Al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Ubaid
(pengarang kitab Al-Ikmal Ala At-Tanbih). Gurunya itu, yakni Al-Imam
Abdullah bin Abdurrahman, tidak memulai pelajaran kecuali kalau
Al-Faqih Al-Muqaddam sudah hadir. Selain itu beliau (Al-Fagih
Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari beberapa ulama besar lainnya,
diantaranya Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba'isa, Al-Imam
Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani,
As-Sayyid Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayyid
Al-Imam Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib,
Asy-Syeikh As-Sayyid Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath (paman beliau)
dan masih banyak lagi.
Dalam mengambil sanad keilmuan dan thariqahnya, beliau mengambil
dari dua jalur sekaligus. Jalur pertama adalah beliau mengambil dari
orangtua dan pamannya, orangtua dan pamannya mengambil dari
kakeknya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada
Rasulullah SAW. Adapun jalur yang kedua, beliau mengambil dari
seorang ulama besar dan pemuka ahli sufi, yaitu Sayyidina Asy-Syeikh
Abu Madyan Syu'aib, melalui dua orang murid Asy-Syeikh Abu Madyan,
yaitu Abdurrahman Al-Maq'ad Al-Maghrobi dan Abdullah Ash-Sholeh
Al-Maghrobi. Kemudian Asy-Syeikh Abu Madyan mengambil dari gurunya,
gurunya mengambil dari gurunya, dan terus sambung-menyambung dan
akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.
Di masa-masa awal pertumbuhannya, beliau menjalaninya dengan penuh
kesungguhan dan mencari segala hal yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Beliau berpegang teguh pada Kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah, serta mengikuti jejak-jejak para Sahabat Nabi dan para
Salafus Sholeh. Beliau ber-mujahadah dengan keras dalam mendidik
akhlaknya dan menghiasinya dengan adab-adab yang sesuai dengan
syariah.
Beliau juga giat dalam menuntut ilmu, sehingga mengungguli
ulama-ulama di jamannya dalam penguasaan berbagai macam ilmu. Para
ulama di jamannya pun mengakui akan ketinggian dan penguasaannya
dalam berbagai macam ilmu. Mereka juga mengakui kesempurnaan yang
ada pada diri beliau untuk menyandang sebagai imam di jamannya.
Mujahadah beliau di masa-masa awal pertumbuhannya bagaikan
mujahadahnya orang-orang yang sudah mencapai maqam al-'arif billah.
Allah-lah yang mengaruniai kekuatan dan keyakinan di dalam diri
beliau. Allah-lah juga yang mengaruniai beliau berbagai macam
keistimewaan dan kekhususan yang tidak didapatkan oleh para qutub
yang lainnya. Hati beliau tidak pernah kosong sedetikpun untuk
selalu berhubungan dengan Allah. Sehingga tampak pada diri beliau
asrar, waridad, mawahib dan mukasyafah.
Beliau adalah seorang yang tawadhu dan menyukai ketertutupan di
setiap keadaannya. Beliau pernah berkirim surat kepada seorang
pemuka para ahli sufi yang bernama Asy-Syeikh Sa'ad bin Ali
Adz-Dzofari. Setelah Asy-Syeikh Sa'ad membaca surat itu dan
merasakan kedalaman isi suratnya, ia terkagum-kagum dan merasakan
asrar dan anwar yang ada di dalamnya. Kemudian ia membalas surat
tersebut, dan di akhir suratnya ia berkata, "Engkau, wahai Faqih,
orang yang diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh
siapapun. Engkau adalah orang yang paling mengerti dengan syariah
dan haqiqah, baik yang dhohir maupun yang bathin."
Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdurrahman As-Saggaf tentang diri
Al-Faqih Al-Muqaddam, "Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu
kalam yang lebih kuat daripada kalamnya Al-Faqih Muhammad bin Ali,
kecuali kalamnya para Nabi alaihimus salam. Kami tidak dapat
mengunggulkan seorang wali pun terhadapnya (Al-Faqih Al-Muqaddam),
kecuali dari golongan Sahabat Nabi, atau orang yang diberikan
kelebihan melalui Hadits seperti Uwais (Al-Qarni) atau selainnya."
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, pernah berkata, "Aku terhadap
masyakaratku seperti awan." Suatu hari dikisahkan bahwa beliau
pernah tertinggal pada saat ziarah ke kubur Nabiyallah Hud alaihis
salam. Beliau berkisah, "Pada suatu saat aku duduk di suatu tempat
yang beratap tinggi. Tiba-tiba datanglah Nabiyallah Hud ke tempatku
sambil membungkukkan badannya agar tak terkena atap. Lalu ia berkata
kepadaku, 'Wahai Syeikh, jika engkau tidak berziarah kepadaku, maka
aku akan berziarah kepadamu.'"
Dikisahkan juga bahwa pada suatu saat ketika beliau sedang
duduk-duduk bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidir alaihis
salam menyerupai seorang badui dan diatas kepalanya terdapat
kotoran. Bangunlah Al-Faqih Al-Muqaddam, lalu mengambil kotoran
tersebut dari kepalanya dan kemudian memakannya. Kejadian tersebut
membuat para sahabatnya terheran-heran. Akhirnya mereka bertanya,
"Siapakah orang itu?." Maka Al-Faqih Al-Muqaddam menjawab, "Dia
adalah Nabi Khidir alaihis salam."
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, banyak menghasilkan para ulama besar
di jamannya. Beberapa ulama besar berhasil dalam didikan beliau.
Yang paling terutama adalah dua orang muridnya, yaitu Asy-Syeikh
Abdullah bin Muhammad 'Ibad dan Asy-Syeikh Sa'id bin Umar Balhaf.
Selain keduanya, banyak juga ulama-ulama besar yang berhasil
digembleng oleh beliau, diantaranya Asy-Syekh Al-Kabir Abdullah
Baqushair, Asy-Syeikh Abdurrahman bin Muhammad 'Ibad, Asy-Syeikh Ali
bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya Asy-Syeikh Ahmad, Asy-Syeikh
Sa'ad bin Abdullah Akdar dan saudara-saudara sepupunya, dan masih
banyak lagi.
Beliau wafat pada tahun 653 H, akhir dari bulan Dzulhijjah. Jazad
beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, di kota Tarim. Banyak
masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman beliau.
Beliau meninggalkan 5 orang putra, yaitu Alwi, Abdullah,
Abdurrahman, Ahmad dan Ali.

Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi (Simtud Duror)
Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut.
Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.
Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.
Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.
Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya - di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.
Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.
Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bongsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta.
Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.
Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).

Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad
________________________________________
NASAB, KELAHIRAN DAN PEMBESARAN
Beliau bernama Abdullah bin Alawi bin Muhammad bin Ali Al-Tarimi Al-Haddad Al-Husaini Al-Yamani. Beliau (rahimahullah) dilahirkan di Subir sebuah perkampungan berhampiran kota Tarim di Wadi Hadhramaut, selatan negeri Yaman pada hari Ahad 5 haribulan Safar tahun 1044 hijriah bersamaan 30 haribulan Julai tahun 1634 Masehi. Al-Habib telah diasuh dan ditarbiahkan di Kota Tarim. Ketika beliau meningkat umur empat tahun, Al-Habib dijangkiti penyakit cacar yang mengakibatkan kehilangan daya penglihatan. Walaupun demikian, Allah yang Maha Agong lagi Mulia telah menggantikan kepada Al-Habib dengan mata hati (cahaya ilmu dan pengetahuan serta keyakinan dan wilayah). Berasaskan kurniaan ini, Al-Habib telah berusaha dengan penuh dedikasi dan kegigihan menceduk ilmu dari sejumlah besar para ulama’ di Yaman. Cinta beliau terhadap ilmu dan para ulama’ menghasilkan kebolehan menguasai ajaran para ahli tahkik (orang yang mengenali Allah dengan ‘ainul-yakeen serta hakkul-yakeen). Semenjak kecil lagi beliau memaparkan kekuatan usaha ibadat dan kerajinan memuntut ilmu.
Al-Habib pernah berkata “ketika aku masih kecil, aku telah berusaha bersungguh-sungguh untuk beribadat dan melaksanakan pelbagai mujahadah yang lainnya, sehingga ditegur oleh nindaku yang solehah bernama Salma binti Said Al-Wali Omar Ba’Alawi, supaya menjaga diriku. Dia sering berkata demikian jika dikira ibadat serta mujahadah yang aku usahakan dianggap terlalu kuat dan banyak. Sebaliknya aku telah banyak meninggalkan mujahadah semenjak permulaan perjalanan ini semata-mata memelihara hati kedua ibubapaku yang amat prihatin terhadap keadaanku”.
Walaupun Al-Habib (radhiAllahu ‘anhu) sering keluar ke kawasan sekitarnya dan perkampungan di sekeliling Tarim, beliau berkata “aku lebih seronok bersendirian demi kerana Allah kerana alangkah ne’matnya kelazatan (al-uns) bersama dengan Allah”.
Pada permulaan perjalanan hidup Al-Habib, beliau sentiasa menyusuri negerinya untuk bertemu para solihin, menziarahi pusara para ulama’ dan auliya’. Pada masa beliau berada di perkampungannya, beliau sering duduk di sudut ‘Masjid Al-Hijriah’ dan pada waktu malamnya sering bersolat bergiliran di setiap masjid dalam kota Tarim. Sesungguhnya inilah yang membuka hati beliau semenjak kecil lagi. Al-Habib sering membaca Surah Yaasin yang mempengaruhi jiwanya dan menyebabkan beliau menitiskan air mata yang begitu banyak. Keadaan demikian sering mengakibatkan ketidakmampuannya membaca surah yang mulia ini. Inilah yang mendorong Sayyed Abdullah Bilfagih menjelaskan tentang Al-Habib dengan katanya “Disinilah futuh (pembukaan) bagi Al-Habib”.
________________________________________
AKHLAK DAN BUDI PEKERTI
Al-Imam Al-Haddad (rahimahullah) memiliki perwatakan badan yang tinggi, berdada bidang, tidak terlalu gempal, berkulit putih, sangat berhaibah dan tidak pula di wajahnya kesan mahupun parut cacar.
Wajahnya sentiasa manis dan menggembirakan orang lain di dalam majlisnya. Ketawanya sekadar senyuman manis; apabila beliau gembira dan girang, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Majlis kendalian beliau sentiasa tenang dan penuh kehormatan sehinggakan tidak terdapat hadhirin berbicara mahupun bergerak keterlaluan bagaikan terletak seekor burung di atas kepala mereka.
Mereka yang menghadhiri ke majlis Al-Habib bagaikan terlupa kehidupan dunia bahkan terkadang Si-lapar lupa hal kelaparannya; Si-sakit hilang sakitnya; Si-demam sembuh dari demamnya. Ini dibuktikan apabila tiada seorang pun yang yang sanggup meninggalkan majlisnya.
Al-Imam sentiasa berbicara dengan orang lain menurut kadar akal mereka dan sentiasa memberi hak yang sesuai dengan taraf kedudukan masing-masing. Sehinggakan apabila dikunjungi pembesar, beliau memberi haknya sebagai pembesar; kiranya didatangi orang lemah, dilayani dengan penuh mulia dan dijaga hatinya. Apatah lagi kepada Si-miskin.
Beliau amat mencintai para penuntut ilmu dan mereka yang gemar kepada alam akhirat. Al-Habib tidak pernah jemu terhadap ahli-ahli majlisnya bahkan sentiasa diutamakan mereka dengan kaseh sayang serta penuh rahmah; tanpa melalaikan beliau dari mengingati Allah walau sedetik. Beliau pernah menegaskan “Tiada seorang pun yang berada dimajlisku mengganguku dari mengingati Allah”.
Majlis Al-Imam sentiasa dipenuhi dengan pembacaan kitab-kitab yang bermanfaat, perbincangan dalam soal keagamaan sehingga para hadhirin sama ada yang alim ataupun jahil tidak akan berbicara perkara yang mengakibatkan dosa seperti mengumpat ataupun mencaci. Bahkan tidak terdapat juga perbicaraan kosong yang tidak menghasilkan faedah. Apa yang ditutur hanyalah zikir, diskusi keagamaan, nasihat untuk muslimin, serta rayuan kepada mereka dan selainnya supaya beramal soleh. Inilah yang ditegaskan oleh beliau “Tiada seorang pun yang patut menyoal hal keduniaan atau menyebut tentangnya kerana yang demikian adalah tidak wajar; sewajibnya masa diperuntuk sepenuhnya untuk akhirat sahaja. Silalah bincang perihal keduniaan dengan selain dariku.”
Al-Habib (rahimahullah) adalah contoh bagi insan dalam soal perbicaraan mahupun amalan; mencerminkan akhlak junjungan mulia dan tabiat Al-Muhammadiah yang mengalir dalam hidup beliau. Beliau memiliki semangat yang tinggi dan azam yang kuat dalam hal keagamaan. Al-Imam juga sentiasa menangani sebarang urusan dengan penuh keadilan dengan menghindari pujian atau keutamaan dari oramg lain; bahkan beliau sentiasa mempercepatkan segala tugasnya tanpa membuang masa. Beliau bersifat mulia dan pemurah lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan. Ciri inilah menyebabkan ramai orang dari pelusuk kampung sering berbuka puasa bersama beliau di rumahnya dengan hidangan yang tidak pernah putus semata mata mencari barakah Al-Imam. Tidak terputus pengunjung bertamu dengan beliau pada bulan mulia ini di rumah perkampungan beliau di Al-Hawi.
Al-Imam menyatakan “Sesuap makanan yang dihadiahkan atau disedekahkan mampu menolak kesengsaraan”. Katanya lagi “Kiranya ditangan kita ada kemampuan, nescaya segala keperluan fakir miskin dipenuhi, sesungguhnya permulaan agama ini tidak akan terdiri melainkan dengan kelemahan Muslimin”.
Beliau adalah seorang yang memiliki hati yang amat suci, sentiasa sabar terhadap sikap buruk dari yang selainnya serta tidak pernah merasa marah. Kalaupun ia memarahi, bukan kerana peribadi seseorang tetapi sebab amalan mungkarnya yang telah membuat Al-Imam benar-benar marah. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Habib “Adapun segala kesalahan berkait dengan hak aku, aku telah maafkan; tetapi hak Allah sesungguhnya tidak akan dimaafkan”.
Al-Imam amatlah menegah dari mendoa’ agar keburukan dilanda orang yang menzalimi mereka. Sehingga bersama beliau terdapat seorang pembantu yang terkadangkala melakukan kesilapan yang boleh menyebabkan kemarahan Al-Imam. Namun beliau menahan marahnya; bahkan kepada si-Pembantu itu diberi hadiah oleh Al-Habib untuk meredakan rasa marah beliau sehinggakan pembantunya berkata: “alangkah baiknya jika Al-Imam sentiasa memarahiku”.
Segala pengurusan hidupnya berlandaskan sunnah; kehidupannya penuh dengan keilmuan ditambah pula dengan sifat wara’. Apabila beliau memberi upah dan sewa sentiasa dengan jumlah yang lebih dari asal tanpa diminta. Kesenangannya adalah membina dan mengimarahkan masjid. Di Nuwaidarah dibinanya masjid bernama Al-Awwabin begitu juga, Masjid Ba-Alawi di Seiyoun, Masjid Al-Abrar di As-Sabir, Masjid Al-Fatah di Al-Hawi, Masjid Al-Abdal di Shibam, Masjid Al-Asrar di Madudah dan banyak lagi.
Diantara sifat Al-Imam termasuk tawaadu’ (merendah diri). Ini terselah pada kata-katanya, syair-syairnya dan tulisannya. Al-Imam pernah mengutusi Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Aidarus. “Doailah untuk saudaramu ini yang lemah semoga diampun Allah…”
________________________________________
IBADAH DAN MUJAHADAH
Tiada siapa yang pernah menyatakan Al-Imam bersolat walau satu waktu bersendirian, atau tidak solat di awal waktu, sembahyang dalam situasi yang tergapah-gapah, atau meninggalkan qiamullail. Diantara sifat mulianya Al-Imam ialah tidak berbicara ketika menunggu waktu solat dan amat marah jika ada yang cuba berkata-kata di waktu itu. Bahkan beliau menegahnya serta memberi amaran kepada sahabatnya dari menegurnya ketika waktu tersebut. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Imam dengan katanya: “Kami keluar dengan penuh menghadhirkan diri dan meninggalkan segala kerunsingan”.
Dan tegasnya lagi: “Kami tidak bercadang untuk melaksanakan sebarang solat sunat An-Nawaafil (solat sebelum dan selepas sembahyang fardhu) kecuali setelah hati kami benar-benar hadhir dan iqbal (menuju) kepada Allah”.
Al-Imam amat memeliharai amalan solat Ar-Rawaatib. Doa-doa serta wirid-wiridnya yang ma’thur dari amalan Raul S.A.W. termasuk mendirikan solat Ad-Dhuha sebanyak lapan rakaat dan solat Al-Isyraq sebanyak empat rakaat sebelumnya, solat Al-Awwaabin sebanyak dua puluh rakaat selepas sunat maghrib; dimana Al-Imam menyempurnakan empat rakaat sebelum setiap salam. Di waktu subuh pada hari Jumaat, Al-Imam berjemaah solat Fajar di masjid Al-Jame’ seterusnya beri’tiqaf sehingga solat Jumaat demi mendapat keutamaan berawal-awalan untuk solat tersebut.
Al-Imam juga amat sedikit tidur, sekadar merehatkan diri sahaja. Kebiasaan Al-Imam melambatkan solat witir sehingga hampir fajar; ini disebabkan Al-Imam tidur sedikit (qailulah) selepas solat-solat qiamullail. Kemudian barulah berwudu’ untuk solat witir sebelum subuh. Beliau sentiasa berzikir seumpama ‘La ila ha illallah’ yang terlalu banyak jumlahnya sehinggalah tidak pernah berhenti; Al-Imam membiasakan dirinya dengan ini walaupun diundang perbualan dengan sesiapa.
Al-Imam juga memperbanyakkan puasa, terutamanya pada hari yang diutamakan iaitu Isnin dan Khamis, Ayyaamul Baidh (hari ke 13, 14 dan 15 tiap-tiap bulan), hari ‘Asyura; hari ‘Arafah, enam hari dalam bulan Syawwal; sehinggalah terhentinya amalan ini apabila Al-Imam sudah berumur dan lemah.
Adapun pada bulan Ramadhan, Al-Imam telah menjelaskan kepada para sahabatnya “Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan amal, perkurangkanlah/tinggalkan sementara ilmu semata-mata untuk beribadah dalam bulan ini”. Seterusnya dapat dilihat orang-orang yang ramai mengurangan kelas-kelas ilmu kecuali selepas Asar, sebagai peringatan beliau kepada sahabat-sahabat yang utamakan amal bersungguh-sungguh dan membersihkan dalaman (batin).
Walaubagaimanapun Al-Imam tidak pernah menunjuk-nunjukkan amalnya kecuali keadaan memaksakan seperti supaya ianya dijadikan tauladan kepada yang lain. Kata Al-Imam: “tidak aku tonjolkan amalan ini dengan sengaja, walaupun itu Alhamdulillah aku tidak bimbang dari sifat riya’ (disebabkan orang mengetahui amalan aku). Ingatlah sebagaimana Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq menyatakan tentang perkara ini berlandaskan firman Allah (yang bermaksud) “Sama sekali aku tidak memuji diri ini dengan kebaikan, maka ketahuilah sesungguhnya inilah yang mendorongkannya kepada perbuatan buruk”.
Al-Imam juga telah menegaskan: “sesungguhnya aku telah melaksanakan kesemua sunnah Nabi dan tidak ada sunnah yang ditinggalkan, kecuali rambut”. Akhirnya Al-Imam mengekalkan rambut hingga ke telinganya sebagai yang dilaksanakan oleh Rasul S.A.W.
Al-Imam juga sering menziarahi Nabi Allah Hud, selawat dan salam keatasnya dan Nabi kita; dimana makam Nabi Hud terletak di Wadi Hadramaut. Sebanyak tiga puluh kali Al-Imam telah menziarahinya, kesemuanya pada bulan Sya’ban. Al-Imam telah pergi berjalan kaki bersama-sama sanak saudaranya, kaya dan miskin. Kebiasaannya Al-Imam berada dimaqam itu selalunya di waktu maghrib dari 12 haribulan hingga 15 haribulan Sya’ban. Dalam perjalanan ke sana, Al-Imam sering singgah di Ainat untuk menziarah As Syeikh Al-Kabir Abu Bakar bin Salim dan As-Syeikh Ahmad bin Al-Faqih Al-Muqaddam. Al-Imam juga menziarah maqam Basyar selepas solat Asar setiap hari Jumaat dan hari Selasa. Al-Imam menjelaskan: “pada mulanya, kebiasaan kami menziarahi Basyar ialah pada setiap hari Jumaat, tetapi setelah diantara sahabat kami bertemu Al-Faqih Al-Muqaddam dalam mimpinya dimana dia berkata: katakan kepada Al-Sayyed Abdullah Al-Haddad: “Ziarah Basyar pada hari Jumaat sahaja tidak memadai”; maka berdasarkan itu kami menziarahi juga Basyar pada hari Selasa juga”. Sebenarnya sebelum Allah menzahirkan kemuliaannya dan orang ramai berpusu-pusu kepadanya, memanglah Al-Habib menziarahi Basyar setiap hari Selasa.
Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas
Sang Penyusun Ratib Al-Atthas
Karamahnya sudah tampak sejak dalam kandungan ibundanya. Meski kehilangan penglihatan sejak kecil, ia giat menuntut ilmu. Dialah salah seorang ulama besar Hadramaut.
Di Hadramaut ada seorang ulama besar, seorang wali, yang sangat termasyhur karena karamah-karamahnya. Dialah Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, lahir pada 992 H/1572 M di Desa Lisk, dekat kota Inat, Hadramaut. Dialah pula yang mula-mula mendapat gelar Al-Atthas, “orang yang bersin”. Disebut demikian karena, konon, ketika masih berada dalam kandungan ibundanya, Syarifah Muznah binti Muhammad Al-Jufri, ia sering bersin. Janin yang masih dalam kandungan, dan bisa bersin, tentulah luar biasa. Dan itulah karamah pertama Habib Umar.
Meski sejak kecil ia sudah kehilangan penglihatan, Allah SWT menerangi kalbunya sehingga ia mampu menyerap dengan baik segala pengetahuan tentang agama yang diajarkan oleh ayahandanya, Al-Imam Abdurrahman bin Aqil. Semangat belajarnya memang sangat besar. Tak jemu-jemunya ia menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar, seperti Syekh Abu Bakar bin Salim, Muhammad bin Abdurrahman Al-Hadi, Syekh Umar bin Isa As-Samarqandi. Sementara guru utama yang paling ia hormati ialah Habib Husein bin Syekh Abubakar bin Salim.
Ia banyak belajar tasawuf, terutama dari Syekh Umar bin Isa Barakwah As-Samarqandi. Setelah merasa cukup menuntut ilmu, ia membuka taklim dengan mengajarkan ilmu agama. Dakwahnya pun menyebar ke segenap penjuru Hadramaut.
Belakangan ia dikenal sebagai seorang sufi yang banyak menguasai ilmu lahir dan batin, pengayom anak yatim piatu, janda, dan fakir miskin. Siang mengajar, malamnya ia gunakan untuk melakukan riyadhah, beribadah, bermunajat kepada Allah SWT, dan sangat jarang tidur.
Sebagai ulama besar dan sufi, Habib Umar dikenal dengan beberapa karamahnya. Ia sangat termasyhur, bahkan sampai ke negari Cina. Suatu hari, salah seorang anak Habib Abdurrahman melawat ke Cina. Di sana ia bertemu seorang sufi yang memberi salam dan hormat, padahal ia tidak mengenalnya.
”Bagaimana engkau mengenalku, padahal kita belum pernah berjumpa?” tanyanya.
”Bagaimana aku tidak mengenal engkau? Ayahmu, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, adalah guru kami, dan kami sangat menghormatinya. Habib Umar sering datang ke negeri kami dan ia sangat terkenal di negeri ini,” jawab sufi tersebut. Padahal jarak antara Hadramaut dan Cina sangat jauh, namun Habib Umar telah berdakwah sampai ke sana.
Syekh Muhammad Baqais, salah seorang muridnya, bercerita, ”Satu kali Habib Umar mendamaikan beberapa suku yang berperang sampai berkali-kali. Tapi, tetap saja ia tidak mendapatkan tanggapan baik. Karena itu beliau pun melemparkan biji tasbihnya kepada mereka. Dengan izin Allah biji tasbih itu menjadi ular. Barulah mereka sadar dan mohon maaf.”
Nama Habib Umar tak bisa dipisahkan dari karya agung yang diberinya judul ‘Azizul Manal wa Fathu Babil Wishal, alias “Anugerah nan Agung dan Pembuka Pintu Tujuan” – yang di belakang hari sangat terkenal sebagai Ratib Al-Atthas. Habib Umar sendiri berwasiat, “Rahasia dan hikmah telah kutitipkan di dalam ratib itu.”
Melindungi Kota
Menurut Habib Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta Pusat), Ratib Al-Aththas lebih tua dibanding Ratib Al-Haddad. Ratib Al-Haddad disusun pada 1071 H/1651 M oleh Habib Abdullah Al-Haddad, atau sekitar 350 tahun lalu, sedang Ratib Al-Atthas disusun jauh sebelumnya. Ada beberapa wirid atau doa yang tidak ada dalam Ratib Al-Atthas tapi terdapat dalam Ratib Al-Haddad, demikian pula sebaliknya. Namun, seperti ratib-ratib yang lain, keduanya tetap mengacu pada doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ratib Al-Atthas biasa dibaca usai salat Magrib, tapi boleh juga dibaca setiap pagi, siang, atau tengah malam. Bisa dibaca sendiri atau secara berjemaah. Manfaat ratib ini sangat besar. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan, dengan membaca Ratib Al-Atthas atau Ratib Al-Haddad setiap malam, Allah SWT akan menjaga dan memelihara seluruh penghuni kota tempat tinggal kita, menganugerahkan kesehatan, dan mengucurkan rezeki-Nya kepada segenap penduduk.
Dalam keadaan sangat khusus dan mendesak, ratib tersebut bisa dibaca tujuh hingga 41 kali berturut-turut. Pendapat ini mengacu pada beberapa hadis Rasulullah SAW tentang manfaat istigfar dan doa-doa lainnya. Sebab, dalam ratib-ratib tersebut antara lain terdapat selawat, tahlil, tasbih, tahmid, dan istigfar.
Begitu hebat fadilah atau keutamaan ratib-ratib itu, hingga Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad bin Muhsin bin Husein Al-Atthas menyatakan bahwa mereka yang mengamalkan ratib tersebut tidak akan terluka jika pada suatu hari terpatuk ular. “Orang yang biasa mengamalkan ratib-ratib itu tidak akan merasa takut, ia akan selamat dari segala yang ditakuti,” katanya.
Betapa hormat para ulama kepada Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas. Tergambar ketika suatu hari seorang ulama, Syekh Salim bin Ali, mengunjungi Imam Masjidilharam, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf, dan menyampaikan salam dari Habib Umar. Seketika itu juga Habib Muhammad pun menundukan kepala sejenak, lalu katanya, ”Layaklah setiap orang menundukkan kepala kepada Habib Umar. Demi Allah, saya mendengar suara gemuruh di langit untuk menghormati beliau. Sementara di bawah langit ini tidak ada orang lebih utama daripada beliau.”
Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas wafat pada 23 Rabiulakhir 1072 H/1652 M, dan jenazahnya dimakamkan di Hadramaut. Sampai sekarang, makamnya selalu dikunjungi banyak peziarah dari berbagai belahan dunia.



by:

0 komentar:

Posting Komentar